Minggu, Juni 15, 2008

Sekilas Pandang Sejarah Turki


Masa Dinasti Ottoman (Ottoman Empire)



Atas izin Allah SWT, dalam kesibukan mengikuti konferensi Plenipotentiary 2006 ITU berlokasi di Beldhibi, Antalya Turki. Kali ini di bagian selatan Turki. Lokasinya, salah satu tempat yang sering dikunjungi oleh para turis manca negara diantara tempat-tempat lain. Tempat ini adalah salah satu tempat yang sangat menarik seperti tempat-tempat lainnya di daerah Turki. Sangat mengherankan saya pikir Turki merupakan negara Islam modern dengan penduduk yang beratribut Islam, pria dengan gamis dan sorban dan wanita dengan jilbab bahkan cadar, ternyata hanya 5% saja wanita berjilbab, dan pria menggunakan pakaian western style.

Topik tersebut tidak hendak saya ceritakan pada tulisan ini karena saya lebih tertarik menguraikan sebuah catatan pandangan mata tentang peninggalan sejarah Islam dari dinasti Ottoman (Ottoman Empire) di daerah konstatinopel (sekarang Istanbul, red), sebagai salah satu lambang sejarah emas kejayaan Islam. Pada kesempatan ini, saya mengambil satu hari ekstra untuk mengunjungi dan mempelajari sejarah Islam dimana dapat dimanfaatkan untuk memupuk keimanan sebagai umat muslim.

Saya memilih Istanbul sebagai tujuan karena pesawat SQ yang akan membawa pulang ke Jakarta melalui kota ini, selain ingin melihat langsung peninggalan sejarah Islam masa lalu yang pernah dipelajari di sekolah menengah dahulu. Satu tempat lagi di Eropa yang juga sebagai simbol kejayaan kerajaan Islam masa lalu adalah Andalusia di bagian agak selatan Spanyol.

Ada beberapa gedung besar di komplek bersejarah ini yang mengelilingi taman ditengahnya, seperti alun-alun di kota Bandung. Bedanya semua bangunan di sekeliling taman tersebut adalah bangunan dengan ciri-ciri khas sebuah mesjid.
Daya tarik Istanbul adalah sebagai kota tua di daratan paling timur Eropa, namun menjadi bagian sebuah negara Asia. Yaitu Turki. Selama 700 tahun (1300-1924), Istanbul pernah menjadi pusat khilafah (pemerintahan) Islam bertaraf internasional. Para raja Dinasti Utsmani yang berhasil mengusai tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa) menjadi kiblat politik, budaya, sosial, ekonomi, dan pertahanan-keamanan kerajaan-kerjaaan Islam di seluruh dunia masa itu. Termasuk kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Samudra Pasai (Aceh), Ternate, Tidore, Bacan (Maluku), Sulu (Filipina), dan lain-lain.
Uraian tentang bangunan ini akan saya mulai dari gedung Blue Mosque (Masjid Biru), yang dibangun Sultan Mohammad (abad ke-13). Hiasan lampu di seluruh ruangan, aneka keramik dinding biru diselingi kaligrafi bagai ukiran, palingkan setiap wajah dari sang khatib yang sedang berkhubah di atas mimbar. Sebelum dan sesudah Shalat Jumat, masjid ini justru penuh sesak oleh turis yang tidak semuanya dari kalangan muslim.



Selanjutnya bangunan yang sangat terkenal Aya Sofya (The Hagia Sofya) yang memang pertama kali dibangun, walaupun tempat yang pertama sekali saya kunjungi adalah Sultan Ahmed Camii’ (Camii = mesjid).

Memasuki gerbang bangunan megah yang dibangun dari bebatuan ini. Secara fisik bangunan itu adalah sebuah mesjid megah. Ruangan pertama setelah pintu gerbang adalah lorong panjang yang didindingnya terdapat poster yang tertata dengan rapi. Poster tersebut berisi uraian sejarah semenjak didirikannya sampai dijadikan sebuah museum.
Bangunan Aya Sofia didedikasikan oleh Raja Costantinus II (337-361) pada tahun 360. Raja ini adalah pengganti penguasa sebelumnya yaitu Constatine the Great (306-337), namun pada tahu 404 bangunan ini dihancurkan. Pada tahun 415 Aya Sofia selesai dibangun oleh Raja Theodosius II (408-450). Pada saat itu Aya Sofia lebih dikenal dengan gereja Theodosius. Lebih seratus abad berikutnya, tepatnya tahun 532 gereja Theodosius dihancurkan, dan secara besar-besaran, atas perintah Raja Justinianus I (527-565) kembali dibangun. Raja Justinianus I mendatangkan arsitek dari seluruh dunia ke Constantinopel untuk pembangunannya. Bahan-bahan bangunan juga didatangkan dari berbagai negara seperti Syria, Mesir dan Anatholia beserta corak arsiteknya. Gereja kembali dibuka tanggal 27 Desember 537 setelah memakan waktu selama 5 tahun, 10 bulan dan 24 hari.

Setelah Constatinopel berpindah ke tangan kerajaan Islam, maka Sulthan Mehmed (1451-1481) merobah Aya Sofiya menjadi mesjid. Shalat Jum’at pertama dilakukan pada tanggal 1 Juni 1453. Selanjutnya Sultan ini selalu melakukan shalat Jum’at di Masjid ini, sekaligus untuk memelihara bangunannya. Semasa kepemimimpinan Sultan Mahmud 1750-1754), Masjid di rehab oleh arsitek Sinan yang tidak menyukai corak bangunan barat. Sebuah bangunan mesjid yang indah penuh dengan kaligrafi di dalamnya serta berbagai kermaik dengan corak yang menarik dipandang mata, sampai sekarang masih terlihat dengan baik. Namun seiring dengan keruntuhan khilafah Islamiyah di Turki, pada tanggal 24 November 1934, Mustafa Kemal Attaturk melakukan sekularisasi terhadap mesjid Aya sofya dan pada tanggal 1 Februari 1935 fungsi mesjid dirubah menjadi museum.

Tepat di depan bangunan Aya Sofia, hanya dipisahklan oleh taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga terdapat masjid yang tidak kalah indahnya, yaitu masjid Sultan Ahmed (Sultanahmed Camii’). Saya cukup kaget ketika memasuki halaman mesjid ini, tidak jauh berbedda dengan Aya Sofia. Orang berdesak-desak memasuki masjid, padahal shalat Jama’ah Dzuhur sudah berlalu satu jam. Ternyata disamping umat Islam yang mau Shalat, banyak sekali para Turis yang ingin masuk masjid untuk mengabadikan kekayaan arsitektural di dalamnya. Dan memang ada tempat khusus bagi pengunjung yang bukan muslin di dalam masjid. Tempat ini diberikan barangkali karena nilai historis dari masjid serta keindahan arsiteknya sudah menjadi temapat wisata bagi setiap orang. Masjid dengan 6 buah menara ini dibangun di saat Sultan Ahmed berkuasa pada tahun 1609-1616. Di saat itu masjid Aya Sofia masih berfungsi. Konon, menurut cerita seorang teman warga Turki yang berdagang di bazar sekitar mesjid, masjid ini dibangun oleh Sultan Ahmed karena “cemburu” melihat masjid Aya Sofia yang selalu ramai dikunjungi jama’ah dan dia sendiri mempunyai kemampuan arsitek yang tinggi, maka dibangunlah masjid Sultan Ahmed. Menurut cerita tradisional orang Turki juga, bahwa menara di masjid tersebut hanya 6, kurang 1 dibanding masjidil Haram di Makkah.

Di samping 2 bangunan tersebut banyak terdapat bangunan bersejarah peninggalan dinasti Ottoman, berupa istana dan tempat-tempat lainnya. Dan hampir setiap tempat bisa ditemukan masjid dengan mudah. Walaupun sampai saat ini pengaruh sekularisasi yang diusung oleh Kemal Attaturk, masjid-masjid selalu mengumandangkan Adzan di saat waktu shalat datang. Hampir semua masjid di Turki mempunyai bentuk arsitektur yang hampir sama dengan masjid Sultan Ahmed. Deretan masjid-masjid dengan konstruksi yang sama itu menjadi indah tatkala di lihat dari sungai yang membelah kota Istanbul menjadi dua bagian yaitu bagian Eropa dan bagian Asia. Bagian Asia juga memiliki berbagai sejarah yang tidak kalah dengan bagian Eropa, hanya saja dengan keterbatasan waktu saya tidak bisa mengunjungi bagian Asia kota Istanbul.

Sepanjang jalan kami melihat 2 spektakuler temple, berlokasi di Didyma. Tempat tersebut diyakini sebagai tempat menobatkan Alexander the Great (Dalam Islam Iskandar yang Agung) adalah putra dari dewa Zeus. Peninggalan sejarah berupa tiang dan kolom membentuk bangunan yang kelihatannya dulunya sangat megah.


Salah satu sejarah Islam dapat dilihat di Museum Topkapi, Istanbul. Masya Allah, di tempat tersebut tersimpan berbagai benda-benda bersejarah dari seluruh negara Islam. Termasuk benda-benda bersejarah peninggalan zaman Nabi Muhammad saw. dan para khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Di situ ada terompah yang (konon) pernah digunakan Nabi Muhammad saw., pedang "Zulfiqar" milik Sayyidina Ali bin Abi Thalib, panji-panji perang, tombak, dan lain-lain.

Dengan menyempat-kan waktu melihat kekayaan dan kejayaan Islam terasa sampai saat ini di Istanbul dari bangunan-bangunan bersejarah. Insya Allah kejayaan tersebut yang meredup secara simbol dan hakiki kembali dapat digapai kembali di masa depan, bukan hanya sebagai sebuah simbol tetapi ajarannya merasuk kedalam hati semua pemeluknya, sehingga hanya Allah SWT lah yang menjadi pegangannya. Umat yang rindu akan keridhoan-Nya, serta mejalankan segala perintah Allah SWT dan meninggalkan segala yang tidak diridhoi Allah dengan sepenuh hati.

Kenangan sejarah ini kembali menggugah saat pintu Istambul terbuka dengan
senyumnya yang sumringah. Semua buku-buku yang pernah bercerita tentang masa-masa emas kejayaan Khilafah Islamiyyah seolah terpampang dalam halaman-halaman beranda Istambul. Lembar demi lembarnya terlukis jelas di taman-taman luas sekitar Blue Mosque, di Masjid Sulaiman, di istana Topkapi atau dalam rentangan 1,8 kilometer jembatan gantung Mahmet Al-Fatih. Kisah-kisahnya bagai terpahat dan terukir dalam wujud relief-relief setiap liku kota Istambul. Terkenang kembali kemajuan-kemajuan yang pernah diraih kaum muslimin. Dibidang ilmu pengetahuan, dibidang kedokteran, dibidang budaya bahkan dibidang strategi militer.

Teringat kembali jejeran nama-nama besar seperti Muhammad Al-Fatih, Ibnu
Sina, Alkhowaris, Abu Musa Jabir, Musa Ibnu Nasair, Al-Qataz, semua sulthan mulai dari Khilafah Bani Umayyahm, Bani Abasyiyyah sampai kepada Khilafah Turki Utsmani terakhir.

Demikian sedikit catatan perjalan ke tempat-tempat bersejarah Islam di Istanbul, untuk dapat berbagi kepada semua yang belum menyaksikan. Ada lagi tempat-tempat bersejarah di daerah Selatan Turki, karena keterbatasan waktu belum dapat dikujungi, yang salah satunya sebuah Theater kuno yang masih digunakan sampai saat ini. Semoga dapat lebih memupuk dan mencintai Islam sebagai hidayah dari Allah SWT sang Maha Pencipta.

(WA)





Widi Amanasto

Tidak ada komentar: